Tuesday, March 3, 2015

Stasiun Mesigit, Tersembunyi Kumuh dari Hingar Bingar Kota

Siang hari cerah itu, entah kenapa saya mendadak teringat kenangan masa kecil; sebuah kenangan yang mungkin tak akan terulang kembali saat ini. Romantisme saya dan kereta api, yang sudah sejak kecil melekat di diri saya. Terpatri begitu kuat hingga sekarang - yang menjadikan saya betah berjam-jam browsing dan melihat masa jaya kereta api berpuluh tahun lalu. (Oh, thanks google! You make me remember it all!).

Saya mendadak tertarik dengan sebuah tempat dalam browsingan saya. Tempat yang sebetulnya enggak jauh-jauh amat dari rumah saya, sama-sama di Surabaya, tapi bahkan mungkin banyak yang belum tahu: Stasiun Mesigit.

Ya, Stasiun Mesigit. Siapa sangka Surabaya punya stasiun tersembunyi seperti Mesigit. Siapa sangka bahwa di tengah pemukiman kumuh daerah Dupak, Surabaya - yang mayoritas dihuni secara berhimpit-himpitan - terdapat stasiun yang tugasnya penting: untuk mengontrol dan mengatur jalur dari tiga persimpangan stasiun besar: Surabaya Pasarturi, Surabaya Kota, dan Sidotopo yang saling bertemu di sebuah lokasi yang dinamakan Segitiga Mesigit.


Stasiun Mesigit (MST) di era Kolonial Belanda, tampak dulunya adalah sebuah stasiun kelas II (Sumber foto tertulis - Universitas Leiden Belanda)

Stasiun Mesigit dulu juga melayani pemberhentian penumpang, lain kali akan saya tunjukkan bekas karcis kereta dengan tujuan Kalimas-Gresikkota. Stasiun yang berkode MST ini dulunya merupakan stasiun pulau dimana bangunan stasiun berada di tengah-tengah jalur rel. Ke arah selatan adalah jalur milik maskapai NIS (Nederlands Indische Spoorweg), sedangkan ke arah utara dan timur adalah jalur menuju Kalimas dan Surabaya Kota/Sidotopo milik maskapai Staatsspoorwegen (SS). Tidak jelas bagaimana pengaturan jalur dari Stasiun Mesigit ketika itu karena saya sejauh ini tidak menemukan data otentik bagaimana dua maskapai dapat disatukan dalam satu stasiun.

Berdasarkan data yang saya peroleh, ternyata emplasemen Stasiun Mesigit masa itu cukup lebar dengan 4 jalur. Kereta api yang melintas umumnya kereta api barang dengan tujuan akhir Pelabuhan Tanjung Perak via Kalimas berupa angkutan minyak, pupuk, dan logistik. Ini cukup dimaklumi karena ketika itu jalur menuju pelabuhan banyak sekali dan tiap maskapai kapal dan perusahaan pelabuhan punya rel sendiri.

Saya berkesempatan mengunjungi stasiun ini di pertengahan 2014 bersama sesama pecinta kereta api. Sebelumnya, saya memang sudah memperoleh gambaran bahwa keadaan di stasiun ini sudah mengenaskan dimana bangunan utamanya sudah menjadi rumah penduduk dan stasiun baru dibangun di sisi selatan bangunan asli Stasiun Mesigit.


Rel masuk Stasiun Mesigit dari arah Surabaya Pasarturi (Sumber foto: Istimewa)

Sebenernya untuk masuk kesana butuh kesabaran dan kehati-hatian ekstra mengingat lokasi stasiun ini ada di pemukiman kumuh dan kawasan 'merah' Kota Surabaya. Bahkan ketika kami memotret beberapa sisi stasiun ini, banyak mata memandang sinis dan tak bersahabat. Untunglah kami diijinkan masuk oleh PPKA Stasiun yang baik hati.

Kedatangan Kereta Api dari Surabaya Pasarturi ke Kalimas

Saat ini, Stasiun Mesigit hanya melayani persilangan KA dan mengontrol rute jalur masuk-keluar KA yang menuju ke Kalimas, Surabaya Pasarturi, dan Surabaya Kota/Sidotopo. Pos pengontrolan juga dibangun di Segitiga Mesigit yang ada sebelum viaduk Tugu Pahlawan dari arah Surabaya Kota (di samping Gedung Kantor Gubernur Jatim).

Sinyal keluar dan jalur 2 (jalur belok) Stasiun Mesigit. Kumuh memang, karena lokasi ini adalah lokasi 'merah' di Surabaya. Nantinya rel arah lurus ini akan menuju Stasiun Pasarturi dengan membelah Pusat Grosir Surabaya melalui terowongan

Papan nama stasiun ini pun cukup kecil dan hampir tak terlihat - yang membuat orang sukar untuk mencari. Tetapi, bangunan stasiun masih asli walaupun tak terpakai. Namun sayang foto di saya masih belum ketemu, nanti kalo udah saya edit post deh :))

Pesan saya sih kalo mau mengunjungi stasiun ini, jangan memakai atau menggunakan benda-benda yang mencolok, karena bahkan masinis pun jika berhenti di sini masih khawatir tentang keamanannya. Pastikan selalu safe visit dan safe hunting bagi yang mau mengabadikan momen di sini ya..

Tuesday, February 3, 2015

Penumpang yang tak Akan Pernah Kembali Lagi...

Langit mendung siang itu membawa saya pada sebuah rencana menarik. Saya yang pada dasarnya suka sejarah sama sekali tak menolak ketika salah satu teman saya mengajak untuk menelusuri jalur-jalur sisa kejayaan trem uap Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS).

Namun karena saya udah terlalu mainstream dengan peninggalan trem uap OJS maupun trem listrik yang ada di Surabaya (nanti kapan-kapan saya ulas di sini), saya lantas mengusulkan bagaimana kalo menelusuri lintas OJS yang lain - yang sama-sama start dari stasiun Wonokromo Kota (WOK).

Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS) sendiri adalah salah satu maskapai kereta api swasta di era Hindia Belanda yang memposisikan diri sebagai maskapai kereta ringan sejenis trem. OJS memulai bisnisnya di Surabaya, di tengah adanya dua raksasa maskapai besar ketika itu, Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Staats Spoorwegen (SS).

OJS memperoleh konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jaringan rel kereta api/trem dalam kota di akhir abad ke-19. Hingga akhirnya OJS berhasil menjalankan 5 lijn trem listrik dan 2 lijn trem uap di Kota Surabaya. Trayek paling populer tentu saja trayek trem uap antara Wonokromo Kota (WOK) ke Ujung (UJ) yang bahkan masih beroperasi di akhir tahun 1970.

Peta jaringan rel OJS (courtessy: penelusurrelmati.wordpress.com)
Selain itu, OJS juga membangun jaringan ke luar Kota Surabaya, yakni angkutan Wonokromo Kota ke Plosso via Krian. Tentunya masih sekelas trem uap dengan loko mallet type B khas OJS. Berbentuk kotak dan berukuran kecil sehingga mampu melewati rel untuk tekanan gandar rendah. Selain angkutan campuran tersebut juga dijalankan angkutan material pasir yang terutama dibawa dari daerah sekitar Kali Brantas di Lespadangan, Mojokerto maupun di sekitar Perning.

Perjalanan saya sampailah di Stasiun Perning. Bekas stasiun berkode PEN ini letaknya agak tersembunyi dari jalan raya yang membelah dari Ploso hingga ke Gunungsari, Surabaya. Saya sengaja memilih menjelajahi Stasiun Perning karena di sini dulunya sering digunakan sebagai bongkar muat material pasir dan ada gerbong yang sampai sekarang 'nyangkut' di bekas jalur menuju Perning.

Dulunya jalan ini rel menuju Perning :))

Dari jalan raya yang membelah 3 kabupaten dan menghubungkan ke Surabaya itu saya berbelok ke kiri, mengikuti arah plang yang telah dipasang PT KAI. Setelah berjalan lewat jalan tanah beberapa ratus meter, saya menemukan letak stasiunnya. Hmm, terasa asri dan tenang..

Bekas stasiunnya masih berdiri walaupun keropos di sana sini

Karena jalur ini ditutup setelah beberapa tahun OJS bangkrut dan menyerahkan segala asetnya kepada PT KAI, maka sisa-sisa jalur masih dapat ditemui dengan mudah. Saya juga menemukan bahwa stasiun ini telah dipasang plakat plat milik KAI


Saya menerawang jauh, membayangkan dulunya disini banyak penumpang dengan segala kesibukannya, dengan segala bawaannya, lalu lalang. Ada yang berlari-lari gara-gara hampir ketinggalan kereta, ada yang menduduki karung berisi barang bawaannya, ada yang mengantre membeli tiket, sungguh pesona memori yang indah...

Dulu, di sini ramai, banyak orang menunggu...
Hari beranjak akan hujan ketika saya terus bernostalgia dengan memori di stasiun trem yang dulunya ramai ini. Gerimis mulai turun ketika saya akan beranjak meninggalkan tempat ini. Rasanya berat, tapi saya harus pergi...

Dan ketika saya beranjak pergi, sebuah benda unik tampak di depan saya...

Gerbong TR di antara sawah
Voila! Apa ini? Tadinya saya kira cuman besi biasa, tapi jika diperhatikan, ternyata sebuah gerbong! Ya, gerbong yang tertinggal. Gerbong TR dua gandar yang khas sekali. Bekas gerbong pengangkut pasir, sehingga terbuktilah bahwa jalur ini dulu juga dilalui trem yang mengangkut pasir..

Sisa kejayaan trem OJS, merenung menyendiri di hari tuanya..
Saya bisa berucap masih beruntung gerbong ini tergeletak di sini. Masih beruntung tidak semua bagiannya dipreteli. Dan saya terkejut, ternyata di bagian bawah gerbong ini masih terlihat tulisan kapan terakhir diservis. Namun sayang sekali saya nggak bisa motret karena hari perlahan mulai turun hujan. Tulisannya berbunyi seperti ini:

PA BY TG 23-06-1973
PA YAD 23-06-1978

Artinya adalah, gerbong mengalami pemeliharaan terakhir pada 23 Juni 1973 di Balai Yasa Tegal. Ini berarti pula bahwa gerbong ini masih berjalan dengan normal di tahun 1973 sebelum jalurnya ditutup tahun 1978 karena dianggap tidak menguntungkan PJKA ketika itu.

Sebenarnya ada lagi satu peninggalan yang saya dapatkan di sekitar tempat ini. Fotonya ada di bawah, namun karena hari mulai hujan deras, maka saya akhiri dengan terpaksa penjelajahan ini. Semoga masih dapat menjelajah lebih jauh di kesempatan yang lain deh! :))

Bekas jembatan lengkap dengan rel-nya sekarang digunakan warga untuk keperluan sehari-hari