Saturday, December 14, 2013

Revolusi Kereta Api Itu Juga Terasa di Penataraan 355...

Holaa, sudah lama nggak mampir di blog ini, sampai-sampai lupa untuk membuat posting pertama. Hehe, padahal materi traveling plus foto-foto yang menunggu giliran diunggah udah banyak sekali..

Hmm, kalo diitung-itung, sudah lama sekali gak naik kereta api kelas ekonomi. Terakhir naik tepatnya tanggal 6 Agustus 2012 kemarin - itupun masih dengan masa transisi revolusi yang terjadi di KAI. Saya masih bisa mbordes, masih bisa beli jajanan asongan pula, hehe.

Kemudian karena iseng, saya coba buat naik KA Dhoho Penataran, yah walaupun cuma buat balik ke Surabaya setelah 5 hari ditemani tugas kuliah yang numpuk (curhat), ini waktunya untuk balik Surabaya, merasakan kembali sensasi di KA Dhoho Penataran, setelah muncul primadona baru jalur Surabaya-Malang yaitu Penataran Ekspres dan Bima.



Tidak banyak berubah sih, menurutku. Kecuali lebih ketat dalam mengatur asongan dan ketertiban penumpang, jadwal pun masih agak amburadul. Yah, maklum pula sebanding dengan harganya juga lah ya :D

Berangkat dari Malang sudah telat 45 menit, dan sesuai dugaan saya, 355 dihajar silang oleh KA-KA lain yang meluncur ke Malang. Di Blimbing bersilang sesama Penataran (mungkin Penataran 367 atau 369), di Sukorejo bersilang KA Argo Ketel 1615, dan di Porong bersilang Penataran Ekspres 7114.

Namun, secara overall pelayanan cukup baik dibandingkan terakhir saya naik 2012 lalu. Termasuk soal kebersihan, sudah cukup bersih untuk ukuran KA Lokal yang kelasnya di bawah KA Ekonomi. Lalu, apa saya salah kalo memprediksi Ignatius Jonan, sang CEO PT KAI untuk jadi Menteri Perhubungan di kabinet yang akan datang? Hehehe...



Salam satu rel, salam sepur!

Tuesday, December 10, 2013

Stasiun Benteng yang Kini Telah (Banyak) Berubah...

Ceritanya karena kebanyakan ngelamun, saya malah jadi mengingat-ingat masa kecil saya yang begitu dekat dengan kereta api. Mulai dari kebiasaan ikut langsiran lokomotif (yang ketika itu loko perkasa macam BB200 ataupun BB300 masih banyak populasinya di Surabaya) hingga balapan sepeda dengan loko langsir macam D301. Ah, rasanya masa-masa itu begitu indah dan sulit terulang kembali.

Ingatan saya berpangkal di Stasiun Benteng. Stasiun yang dulu waktu jaman saya kecil sampai awal SMP jadi jujugan untuk nggandol alias ngambing langsiran KA tangki Pertamina. Stasiun yang menjadi tempat bermain saya selain Kalimas, yang cukup melegakan kaki setelah main bola sore kemudian untuk mencapai jalan raya tinggal menunggu langsiran KA Pertamina untuk numpang daripada jalan kaki.

Ketika itu, Stasiun Benteng begitu teduh. Ada pohon-pohon besar di kiri-kanan stasiunnya. Saya masih ingat bagaimana perkasanya loko BB200 maupun loko kecil BB300 yang menarik belasan gerbong tangki dari pangkalan Pertamina di kawasan Basis TNI AL menuju Stasiun Benteng untuk kemudian diangkut ke Malang atau Madiun dengan loko BB301.


Loko BB200 ketika masih dapat digunakan (Source: Wikipedia)
Loko BB300 terakhir yang masih dapat digunakan selain 1 biji lagi di Semarang Poncol. Loko ini mulai dinas pada tahun 1956 (Source: flickr Vandhoe76)

Hasil dari ingatan saya itulah yang membawa saya untuk menuju ke Stasiun Benteng, setelah belasan tahun tak lagi kesana. Saya benar-benar penasaran, apakah stasiun yang dulunya saya jadikan tempat main, tempat berlarian, dan tempat bersenang-senang di waktu kecil sejauh mana bentuk perubahannya...

Sebagai informasi, Stasiun Benteng adalah mantan stasiun besar di era kolonial dengan nama Stasiun Prins Hendrik. Dengan 10 emplasemen menjadikan stasiun ini menjadi stasiun jujugan para gementee alias pejabat kota yang memang waktu itu bermukim di sekitar Benteng. Selain itu juga menjadi jujugan para perwira angkatan laut Belanda untuk mengakhiri perjalanannya di sini. Dulu juga ada jalur tram yang memutar dan masuk ke kawasan PT PAL tapi entah sekarang tak diketahui rimbanya.

Saya tiba di Stasiun Benteng beberapa puluh menit sebelum matahari terbenam. Dan memang benar, banyak sekali perubahan yang terjadi. Stasiun yang dulunya teduh dan banyak pohon besar, kini terlihat agak panas. Lapangan tempat anak-anak kala itu leluasa berlarian mengejar lokomotif, bermain bola, dan bersepeda, kini menjadi depo kontainer milik Kalog.

Papan penanda wesel ke-23 masih utuh seperti dulu
Container yard di sudut jauh itu dulu adalah lapangan tempat anak-anak kecil menghabiskan waktunya di sore hari cerah
Dulu dari sudut ini kita bisa melihat gagahnya loko BB200 melangsir gerbong pupuk maupun tangki. Kini loko-loko itu sudah tak ada yang bisa dihidupkan kembali...

Stasiun Benteng memang sudah banyak berubah. Tak ada lagi anak-anak kecil yang dengan riangnya menaiki kereta untuk sekedar menumpang ke lapangan pasiran yang ada di dekat dipo Pertamina. Namun, jauh di antara perasaan rindu yang menggelayut di diri saya, saya harus katakan bahwa perubahan seperti ini perlu mengingat transformasi kereta api kita sedang menuju ke arah yang lebih baik.

Benteng menjelang senja hari...

Sunday, October 6, 2013

Lost In Jogja (V-Habis) - Malioboro Perlahan Menjauhi Saya dan Terus Mengecil...

Ini adalah hari terakhir dimana saya harus mengakhiri perjalanan saya di Jogja. Sebuah tempat dimana saya bisa merasakan ketenangan, sebuah alunan memori yang terngiang di kepala, dan benar kata orang, bahkan sebelum saya pulang pun, pikiran saya sudah nyeletuk, "kapan balik ke Jogja?"

Sebenarnya saya masih ingin eksplor sisi lain di Jogja lebih jauh lagi. Ah, tapi sayang, kereta saya berangkat siang hari. Jadilah saya hari itu dengan berat hati meninggalkan kota yang sebenernya saya sendiri pun mulai kerasan di sini.

Setelah checkout dari hotel tempat saya menginap, pagi itu berangkatlah saya ke Stasiun Yogyakarta untuk bersiap balik ke Surabaya. Berbekal oleh-oleh materi tulisan, foto, dan tentu saja makanan dan beberapa pernak-pernik dari Jogja, saya mengakhiri liburan saya yang unik ini. Ke Jogja, sendirian. Benar-benar sendiri, dan beruntung pula!

Keramahan mentari Stasiun Yogyakarta pagi itu...

Dasar iseng, sambil menunggu kereta datang saya masih asyik memotret sambil tangan mencomot camilan. Bahkan di tempat executive lounge di stasiun pun, saya masih merasa nyaman sambil berat meninggalkan Jogja. Entah kenapa sisi magisnya bermain sangat kental di sini...

Loko langsir Stasiun Yogyakarta, deket Balai Yasa, sih.. Makanya putih bersih :D
Kosong di tengah keramaian stasiun...

Beberapa saat kemudian, kereta yang akan saya tumpangi datang. Saya datar saja melangkah menuju seat tempat duduk saya. Setelah menunggu beberapa menit, petugas stasiun membunyikan peluit dan masinis membunyikan klakson lokomotif. Perlahan bangunan stasiun bergerak menjauhi saya. Malioboro tempat saya bermain malam itupun juga bergerak, perlahan terus mengecil, mengecil, dan tertutup oleh tulisan Yogyakarta. Selamat tinggal Jogja, selamat tinggal istimewanya.. Ah, suatu saat saya akan kesini lagi!

Saturday, October 5, 2013

Lost In Jogja (IV) - Finally Beaaaaaaaaach !

Jam menunjukkan pukul 6 pagi lebih ketika saya bangun dan menghirup udara pagi Yogyakarta yang berkabut tipis pagi itu. Jogja yang mempunyai ketinggian di atas 100 meter dari permukaan laut pagi harinya cukup untuk memunculkan sebuah kabut tipis yang membentang dari titik cakrawala nun jauh di sana, yang terlihat jelas dari kamar saya yang berlantai 3.

Kicauan burung menggema ketika saya buka jendela kamar. Ditemani lengkingan suara klakson langsiran lokomotif di stasiun Tugu, dengan alun suara khas stasiun. Damai. Membuat saya benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk merasakan hangatnya pagi itu dari sudut lantai 3 kamar yang saya tiduri.

Setelah puas menikmati pagi Kota Jogja, saya baru ingat bahwa hari ini berdasarkan rundown jadwal yang saya buat kemarin, saya hari ini harus mencicipi pantai di Jogja. Bosan dengan Parangtritis, saya ingin pantai yang belum terjamah banyak tangan manusia. Pantai yang benar-benar masih perawan dan yang tentu saja akses yang bisa dibilang tidak mudah.

Pilihan saya jatuh ke pantai di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Berbekal kondisi nekat dan (lagi-lagi) minim informasi, berangkatlah saya berdua dengan teman saya ke daerah Gunung Kidul. Benar-benar berdua, naik motor, dan awam kondisi jogja. Nah!


MEMBELAH JALANAN - Ditemani langit biru, kami berburu momen mengasyikkan melewati bagian selatan Yogya
Perjalanan yang semula landai menjadi naik turun, bahkan kami tak sekali dua kali harus beradu skill menyalip dan mengalah dengan truk atau bus pariwisata, bahkan sesama pengguna motor. Selepas Bukit Bintang Jogjakarta, jalanan makin gila aja, saya sampai beberapa kali mengalah ke space yang sempit di jalanan berkelok hanya karena ada truk saling salip. Whoooaaaaaa ! Ini seru, pikir saya.

Motor terus melaju hingga daerah Gunung Kidul, tempat di mana surga-surga itu tercecer. Setelah saya mengikuti panduan dari papan yang ada di pinggir jalan dan juga GPS (Ini beneran, cuma modal dua hal itu!), akhirnya saya menemukan papan petunjuk di jalan bahwa lokasi pantai tinggal sedikit lagi. Terus berjalan, dan terus melaju, daaaaaaan.....

Finnally beaaaaaaaaaach ! Saya agak bingung juga ada banyak pantai yang disediakan. Tapi dasar clintisan kalo kata orang Jawa, saya tergerak untuk menelusuri satu demi satu hingga tak ada lagi yang tersisa. This is just little piece of heaven, but it was awesomeeee !

Ini pantai beneran, bukan fiksi XD
Candid session dulu gaeeees :))
Batu-batu yang berserakan alami menambah eksotisme pantai ini
Dan ternyata benar-benar istimewa! Pantai berpasir putih yang terpahat halus, serta batu-batu yang seolah bertumpukan dan berserakan seakan menambah keindahan pantai-pantai di kawasan Gn Kidul. Memang tipikal pantai selatan Jawa yang bukan pantai landai, sih. Tapi menurut saya ini luar biasa. Saya sering mengunjungi pantai selatan Malang (tulisannya nyusul ya :D), tapi eksotisme pantai selatan Jogja saya rasa dapat disandingkan dengan pantai-pantai lain di Indonesia yang cukup terkenal.

Bukan hanya itu, beberapa fasilitas juga sudah dibangun di pantai yang sudah mendapatkan dana perawatan dari pemerintah kesultanan Jogja. Bukti bahwa sektor wisata pantai sudah mulai dilirik sebagian wisatawan. Namun, saya lebih suka pantai yang alami, pantai yang jauh dari hingar bingar, dan suasana pantai yang tenang, teduh, damai, dan nyaman...

Di lokasi yang lain bahkan air lautnya sampai tergradasi dengan indah seperti ini
Beberapa fasilitas pantai Indrayanti yang lumayan kesohor itu...
Pantai Sepanjang, Jogjakarta ini satu deretan dengan pantai-pantai eksotis yang hanya ditemukan di Gunungkidul
Kehidupan nelayan di Pantai Drini pun juga sangat memanjakan lensa kamera Anda

Friday, October 4, 2013

Lost In Jogja (III) - Alunan Memori Melodi Malioboro

Malam pun tiba, sejenak saya malah punya pikiran untuk ke Malioboro. Biasanya kalo ke Malioboro kan selalu rombongan, paling tidak saya malam ini harus bisa kesana walaupun cuma sendirian.

Setelah makan malam di warung Sop Ayam Pak Min Klaten yang legendaris itu, pergilah saya sendirian ke Malioboro. Kali ini situasinya begitu terasa. Alone in Malioboro... Hmm, lebih tepatnya Lost In Malioboro kali ya. Tapi siapa sangka saya malah punya pengalaman baru di sini. Pengalaman yang tentunya akan sulit untuk hilang di benak saya. Bercengkrama dengan para pedagang di Malioboro, ditawari kopi dalam keramahan masyarakat Jogja, dan bahkan ikut mencoba jadi kusir - dengan keramahan pak kusir delman di Malioboro tentunya.

Malioboro in the late-evening
Saya mencoba berjalan lagi, mengeksplor seluruh Malioboro sampai puas, sesuai tekad saya ketika memutuskan traveling sendirian. Dan apa yang terjadi.... Ternyata ketemu teman lama yang kebetulan berada di Jogja. Karena hobi sama-sama traveling dan dia tidak keberatan ketika saya bilang mau eksplor seluruh Malioboro, jadilah kemudian malah eksplor bareng.
Malioboro dalam lingkup keramahan Jogja menjelang tengah malam. Banyak orbs? Dilarang protes!
Hari menjelang tengah malam ketika saya merasa mulai butuh istirahat. Karena lokasi hotel saya yang lumayan dekat dari Malioboro dan teman saya yang langsung balik ke stasiun untuk menunggu KA Bima arah Surabaya, saya memutuskan mengakhiri eksplorasi ini. Banyak yang saya dapat, banyak pengalaman baru, banyak hal-hal baru yang saya temui. Mulai bertukar cerita dengan para pedagang sampai ikut mencoba nyetir delman, bagi saya ini seru! Dan sumpah saya bukan kampanye, bukan blusukan, dan bukan menyamar loh :)))

Saya baru bisa beranjak dari menikmati keramahan dan kehangatan Malioboro ketika jam menunjukkan pukul 3 pagi. Bahkan di jam-jam menjelang subuh itupun, Malioboro tetap ramai, mengalunkan sebuah memori melodi, yang membuat siapapun betah berlama-lama di sana, tanpa merasa sendiri walaupun sendirian. Malioboro tetap hangat dan berpijak di sana serasa kita berada di sebuah cabang dunia, yang terpisah jauh dari sifat masyarakat urban, dengan ditemani suasana yang tak akan terbeli dimanapun...

Bahkan menjelang subuh pun, Jogja dan Malioboro tetap ramai! :)

Thursday, October 3, 2013

Lost In Jogja (II) - Kemegahan Keraton Ngayogyakarta di Masa Silam...

Sampai di hotel, atau lebih tepatnya penginapan atau apalah. Maklum, waktu itu masih musim liburan kuliah dan weekend. Wajar kalo dapat penginapan harga 150 ribu (walaupun secara overall pelayanan dan room-nya keren juga). Saya sudah 1 jam nunggu teman yang merangkap guide saya buat datang ke kamar, kemudian tidur saking lamanya nunggu.

Jam 1 siang, datanglah sesosok makhluk yang rencananya bakal nemenin saya selama 3 hari di Jogja. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Tanpa pikir panjang langsung tancap gas, gak tau kemana yang akan dituju. Akhirnya hari pertama diputuskan untuk mencoba kuliner, sambil malamnya dinner di Sayidan, lalu ngopi di angkringan dengan kawan lama saya dari Palangkaraya yang kebetulan juga ada di Jogja beserta teman lama juga yang jadi admin akun twitter fenomenal di Indonesia.

Besoknya, entah kenapa kok saya jadi pengen ke Tamansari setelah browsing berjam-jam. Okay, that's the choice! We've to go there!

THIS IS TAMANSARI
Menurut pengetahuan yang saya dapat dari internet, tamansari dulunya adalah pemandian raja-raja keraton Ngayogyakarta bersama permaisuri dan para selir. Ekspresi pertama saya ketika kesana adalah ini tempat asli keren! Dasar traveler, saya mulai explore seluruh sudut Tamansari, itu mengingatkan saya di adegan di film Java Heat waktu Sultan tertembak di sebuah lorong. Akhirnya kutemukan lokasi syuting salah satu adegan film itu di Jogja.

Namun sayang, keindahan Tamansari ternyata banyak dihancurkan oleh tangan-tangan jahil. Saya sempat motret juga sih yang menurut saya agak konyol sekaligus miris lihat vandalisme seperti ini :(

Pada pede dikasih tagline singkatan, emang kalo putus masih berlaku tuh? :))
Saya kembali mengeksplore bersama guide fenomenal saya, yang gak habis-habisnya bercerita. Maksudnya bercerita sama pacarnya lewat chatting BBM sampai temennya dicuekin *duh!*. Menelusuri sudut demi sudut, mulai dari pintu 5 arah mata angin sampai di lokasi yang dipake orang pacaran. Dan kayaknya saya salah arah kalo kesini...

Dulu, permaisuri mandinya di sini...

From the other side...
Kali aja ada yang lagi mandi beneran :p
Tapi, voila! Saya juga menemukan tempat yang dipakai video klip salah satu band. Lokasinya agak ke dalam area Tamansari, sepertinya runtuh terkena gempa jogja 2006 lalu. Tapi overall, situs Tamansari ini wajib dikunjungi tanpa vandalisme. Di sini kita bisa melihat kemegahan Keraton Ngayogyakarta di masa silam...

Reruntuhan yang mungkin sisa gempa jogja 2006 yang lalu

Wednesday, October 2, 2013

Lost In Jogja (I) - I'm Alone and I'm F*ckin Lucky!

Hoho, saya baru inget lagi kalo punya blog traveling ini. Yah, daripada ngga keurus mending telat tapi tetep nulis kan? :D

Nah, kali ini yang berkecamuk di pikiran saya adalah kapan saya nulis tentang traveling gila ke Jogja, September 2013 lalu. Traveling gila, karena berangkat sampai pulang sendirian. Benar-benar sendiri, cuma satu orang. Dan itu asyik guys! :))

Ide buat traveling dimulai sejak kebiasaan joyride kereta api mulai muncul. Entah kenapa kemudian muncul ide gila itu. Traveling sendirian, dengan tanggal yang bisa dibilang dadakan, dan budget yang pas-pasan. Satu teman di Jogja sudah confirm mau jadi guide pula...

So? Tercopy sekaliiiii. Faktor pendukungnya banyak, mulai liburan yang kayak gak ada habisnya, sampai mulai bosan dengan interface game, akhirnya berangkatlah saya ke Jogja setelah sebelumnya pesan tiket Sancaka 73. Dan lagi-lagi beruntung dapat tiket murah, kereta bisnis seharga 110 ribu.

Jam 7 tepat, saya sudah ada di Stasiun Gubeng, tempat KA 73 berangkat. Karena juga nggak biasanya sepagi ini bangun, saya masih agak pillow-lag (kalo yang ini temennya jetlag). Sekaleng kopi dari minimarket mulai cukup bikin melek, sambil menunggu KA 73 datang, sekaligus sambil iseng potret-potret di stasiun.

Penumpang KA 73 menunggu datang kereta yang diberangkatkan dari Surabaya Kota
Dan beberapa saat kemudian, KA 73 datang dari arah utara. Diawali dengan lokomotif CC 2039802 milik Dipo YK, inilah KA yang akan saya naiki.

CC 2039802 feat KA Sancaka Pagi 73 SGU-YK
Para penumpang yang dari tadi nunggu (malah ada yang menunggu sejak KA Mutiara Timur 78 dari Denpasar datang) mulai naik satu per satu. Saya sih nyantai aja, karena sudah terbiasa naik kereta. Dan waktu saya naik kereta dan mulai mencocokkan nomor kursi yang saya punya ternyata.....

Voila! Kursi tempat duduk saya sudah didiami diduduki wanita muda cantik berkerudung. Jaga imej dulu, saya cari tempat duduk lain yang masih kosong. Kereta mulai berangkat, perlahan-lahan tulisan Surabaya Gubeng berjalan ke arah belakang kereta. Maaf gak ada foto cewenya ya, walaupun itu juga masuk POI di tulisan ini, tapi maklum lah ya :)))))

Kereta mulai ramai ketika berhenti di Mojokerto, kemudian bertambah ramai setelah berhenti normal di Jombang dan Nganjuk. Namun, di sini saya dapat lucky lagi. Ternyata sejak tadi KA 73 selalu tepat waktu berhenti di stasiun tujuan. Bahkan waktu berhenti di Jombang KA 73 lebih cepat 8 menit dari jadwal awal. Dari sini pikiran melayang, kayaknya kereta ini bakal lebih cepat dari jadwal *grin*

KA 73 berhenti normal di Jombang, dari jalur sebelah selatan (kanan foto) berhenti KA Dhoho 355 tujuan Kediri
Yak, dan benar saja. Sejak sampai Madiun, KA 73 sudah melampaui waktu tempuh normal. Kalo dikira-kira, top speed KA 73 yang saya naiki ini ada di petak Nganjuk-Madiun. Bisa lebih dari 100 km/jam kecepatannya. Tapi kemujuran demi kemujuran saya kayaknya nggak seberapa awet. Mata yang sudah ngantuk tak bisa tidur karena banyak anak kecil yang main-main di dalam kereta. Yah, biar ajalah, itung-itung pahala, hehe...

Setelah 4,5 jam perjalanan, toh akhirnya KA 73 sampai Stasiun Yogyakarta dengan selamat, dan dengan waktu lebih cepat 26 menit dari jadwal awal yang seharusnya sampai jam 12:52. But, i'm feeling lucky! With paid only 110K, my train can ran faster than its schedule. Mana dapet pin BBM cewe berkerudung yang duduk di sebelah pula (kalo yang ini konsumsi pribadi vroohhh)...  (Bersambung)

Monday, July 22, 2013

Traveling Yuk!

Hai, di blog ini saya bakal share hasil traveling, pengalaman, tips, dan saran tempat-tempat yang pernah saya datangi. Traveling tak melulu soal perjalanan jauh, tetapi apa yang kita punya untuk dapat menyenangkan orang lain di tempat yang kita tuju..

Regards :)