Wednesday, February 5, 2014

Ketika Porong Banjir..

Saya sedang dalam perjalanan pulang dari Madiun menuju Surabaya ketika hujan deras yang mengguyur Sidoarjo dan sekitarnya selama hampir 18 jam membuat tergenangnya Porong. Saya yang awalnya menganggap itu hal biasa akhirnya malah jadi penasaran. Terlebih baca di sebuah grup facebook yang mengatakan bahwa jaringan rel Surabaya-Bangil terputus dan harus menggunakan loko hidrolis untuk melewati banjir.

What? Loko hidrolis? Ingatan saya langsung menuju beberapa loko hidrolis tua milik Dipo Sidotopo (karena yang terdekat dengan Porong tentu Surabaya) yang mulai berdinas sejak 1964, yang kini mulai merapuh akibat usia dan langkanya suku cadang. Mungkinkah loko-loko yang banyak berseliweran ketika jaman saya masih kecil 'hidup' kembali dan menjadi tulang punggung untuk menyeberangi banjir? Karena memang lokomotif jenis CC yang digunakan oleh PT KAI sekarang ini adalah loko elektrik yang tentu akan rusak jika dilewatkan banjir.

Bersama salah seorang teman, saya langsung meluncur ke Porong dari Surabaya. Benar saja, sejak masuk kawasan Kabupaten Sidoarjo, banyak sekali genangan air yang ada di jalan. Ini faktor drainase Sidoarjo yang buruk atau bagaimana? Bahkan jembatan-jembatan yang memotong jalan raya pun tampak sekali luberan airnya hingga hampir menyentuh bibir jalan.

Dan ketika saya sampai di Porong, apa yang saya lihat jauh melebihi yang saya bayangkan...

Dimanakah sisi paling ujung badan jalan?

Relnya hilang! Bukan hilang sih, tapi tak terlihat. Wajar saja loko diesel elektrik tak berani lewat sini. Saya juga menemui beberapa teman dari komunitas railfans, baik dari Komuter maupun IRPS yang juga memanfaatkan momen keluarnya loko 'legendaris' ini.

Perhatian saya tertuju pada pond alias kolam lumpur yang makin lama makin penuh, hampir tak ada peluang untuk berhenti. Saya melihat berkeliling, dan memori saya tertuju pada 10 tahun lalu dimana saya pernah melewati Jalan Raya Porong dengan pedesaan dan persawahan menghampar di kiri kanan jalan, dengan pabrik-pabrik kecil yang mengepulkan asapnya, dengan penjaja-penjaja sepatu industri rumahan yang berharap pembeli datang.

Berada di tepi tanggul lumpur menghadap jalan..

Tak butuh waktu lama langit pun mendadak kembali berangsur-angsur gelap. Saya mulai kuatir hujan turun lagi sehingga Porong bisa banjir lagi. Tetapi, mendadak sebuah jackpot lewat di hadapan saya. Para pemburu foto kereta api lawas berjejalan berebut spot foto..

Ini dia loko BB301 yang legendaris itu, dinas muai 1964!

Voila! Loko tua ini perlahan melintas genangan air yang merendam rel dengan pelan namun pasti. Loko ini dulu waktu saya kecil amat banyak berkeliaran di Jawa, tetapi entahlah, kini mungkin hanya beberapa yang masih bisa dihidupkan karena banyak yang rusak dan tak ada suku cadangnya yang dijual lagi. Ah, semoga beberapa ini masih bisa dilestarikan sehingga nasibnya tidak se-tragis loko uap yang kini telah menjadi besi tua yang dijual terpisah...

Tepat di belakang saya dulunya persawahan luas dengan pabrik-pabrik kecil di sekitarnya..
Saya masih berada di Porong hingga sore hari, berbincang dan bertukar informasi dengan teman-teman IRPS dan juga Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo/BPLS. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk berpindah tempat ke Stasiun Tanggulangin karena hujan deras dan khawatir banjir bakal tambah parah...

Menatap kosong menunggu banjir segera surut

Lokomotif tua ini ternyata sudah tak terawat pula :(

Proses peninggian rel sekitar 60 cm langsung dilakukan hari itu juga, tampak Kereta Luar Biasa/KLB kerikil bersiap menuju lokasi rel yang terendam
Sritanjung on the track at the middle of late-afternoon

No comments:

Post a Comment