Friday, March 28, 2014

Kembali ke Balekambang dalam Balutan Lensa

Haaaai Balekambang, I'll back !

Itu janji saya ketika awal kali saya mengunjungi pantai yang saya anggap sebagai titik nol dari pantai-pantai di kawasan Malang Selatan beberapa waktu lalu. Entah kenapa kini saya justru terus-terusan ingin balik kesana. Selain langit ketika itu lagi bagus, sedang biru-birunya, juga ada waktu yang jedanya cukup panjang. Kuliah sore, berangkat pagi ke pantai pulang siang, cukuplah pikir saya.

Kesempatan itupun datang. Saya kali ini membawa 2 pasukan dengan 2 sepeda motor berangkat dari Kota Malang tempat saya kuliah menuju Balekambang. Tak sulit memang menuju kesana mengingat juga saya sudah dua kali ini mampir ke pantai itu.

Kilometer demi kilometer dilalui, tetapi yang lain di sini adalah berakhirnya masa panen tebu sehingga pemandangan yang saya lihat jauh lebih luas. Namun sayang sekali jalanan yang saya lewati ketika itu sedang dalam proses menjelang pengaspalan sehingga hanya dilapisi remukan batu yang kalau tak hati-hati bisa-bisa kepleset dan jatuh terguling. Hiiii!

Kami tiba di Balekambang tepat 95 menit setelah berkendara dari Kota Malang. Setelah lepas sepatu dan menyiapkan perlengkapan, kami langsung ngacir dan mulai menikmati irama ombak yang berdebur mengalun di tengah sepinya pantai...

Berasa private beach kaaaaaan? x)

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengeksplor kembali pantai ini yang bagi saya jauh lebih bagus, jauh lebih biru daripada pertama kali saya kesini. Pulau Ismoyo dengan Pura-nya yang masih berdiri tegak tetap menantang siapapun pengunjung pantai untuk melihat view Samudera Hindia dari atas pulau. Tetapi saya merasakan ada hal yang aneh...

Pantainya berombak tenang! Amat jarang terjadi Pantai Balekambang berombak tenang, hingga kita bisa bermain-main agak ke tengah seperti ini. Sementara teman-teman saya lainnya sibuk narsis, saya sempatkan mengabadikan beberapa sisi lain yang tersisa dari pantai indah nan eksotis ini..

Pasir yang khas inilah yang membuat saya ingin kembali ke tempat ini..
Pantai berombak tenang tak seperti biasanya, namun Pulau Ismoyo tetap gagah
Penjaga pantainya hilang ditelan bumi kah?

Kami melanjutkan eksplor pantai menuju Pulau Ismoyo yang terkenal itu. Tetapi siapa sangka balekambang begitu welcome dengan kami sehingga air lautnya begitu tenang? Siapa sangka Balekambang berasa seperti private beach, hanya karena kami wisatawan yang berada di sana? Siapa sangka pula gradasi air lautnya begitu indah sehingga membuat betah kami berlama-lama berada di sana?

Menuju Pulau Ismoyo, sebelum naik wajib candid session! :))
Gradasi air laut yang begitu memanjakan mata siapapun yang melihat.. Airnya tenang, betul-betul tenang..
Saya pilih nomor 2 #ehh
Pura di Pulau Ismoyo yang unik, karena ukir-ukirannya juga menunjukkan angka 2 #uhuk 
Pukul dua siang kami mulai beranjak meninggalkan Pulau Ismoyo dengan berjuta lanskap indah yang kami temukan di sana. Sebuah lanskap yang mungkin jarang terjadi. Sayang sekali kami tak bisa sampai sunset di Pantai Balekambang karena kuliah jam 4 sore telah menanti. Tetapi, sebelum meninggalkan pantai ini (dan berjanji bakal kesini lagi untuk ketiga kalinya), saya mencoba mengabadikan lebih banyak apa yang saya lihat dan mata kamera saya tangkap selama ada di surga yang tercecer ini...

Saking tenang dan hampir tak ada ombak besar, saya berani naruh tripod disini :))
Air beningnya terasa sejuk sekali, ga pengen kesini? :))
Motor balap saya juga pengen ngeksis dong...

Saturday, March 1, 2014

Berburu Peninggalan Belanda di Sidotopo

Hai, akhirnya saya nulis lagi hehe. Ada satu hal yang menggelitik telinga saya bahwa seorang teman berhasil menemukan beberapa footage langka jaman Belanda di sekitaran Sidotopo. Saya yang awalnya skeptis, yang menganggap bahwa memang lokasi stasiun dan dipo Sidotopo itu adalah awalnya memang bangunan eks Belanda menjadi tertantang untuk menemukan hal yang lain, yang saya rasa tidak semua orang ngeh kalo itu barang langka.

Berbekal kamera seadanya, sore itu berangkatlah saya ke stasiun terbesar se-Jawa Timur (atau bahkan se-Indonesia) itu. Kalo lihat gerbong bekas ditumpuk atau rel yang bertuliskan tahun 1800-an sih sudah sering. Hari itu saya benar-benar bertekad untuk menemukan sesuatu yang lain, yang bisa saya share juga hehe...

Tetapi ketika akan mencari parkir, saya tergerak dan tertarik dengan beberapa loko BB301 yang mangkrak (sepertinya menunggu untuk di-besituakan). Bukan apa-apa sih, kok sepertinya tertarik aja, entah intuisi saya yang tiba-tiba naik, atau apalah, yang jelas loko-loko BB301 yang dipajang di sana memang kebanyakan eks PLH alias kecelakaan hebat, yang menyebabkan loko-loko itu tidak dapat dipakai lagi.

Tersembunyi di rerumputan, lok BB30121 ini pernah mengalami kecelakaan hebat di Sengon beberapa tahun silam yang menyebabkan masinisnya meninggal dunia
Bagi sebagian orang mungkin lumayan ngeri, tapi saya penasaran. Bagi saya, lok-lok mati itu menatap kosong, seakan menunggu waktunya dipreteli untuk kemudian besinya dijual terpisah. Yah, itulah kebijakan perusahaan yang terkadang bagi orang awam seperti saya, hal ini dianggap salah. Atau mungkin malah sebaliknya...

Tak butuh waktu lama saya berburu peninggalan Belanda yang saya cari-cari. Setelah puas (sebenernya belom) melihat-lihat loko-loko mati yang sudah tak berdaya itu, mata saya tertuju pada sebuah lampu kuno di sebelah masjid dipo stasiun. Lampu yang tidak pada jamannya karena secara bentuk terlihat lampu seperti jaman pertengahan. Dan ketika saya mengamati sejengkal demi sejengkal lampu tersebut....

Dari tulisan yang ada di bawah tiang lampu, sudah sangat jelas ini lampu buatan eropa :D
Voila! Nama orang eropa, entah Belanda entah Jerman, yang jelas nama-namanya rumpun Jerman. Tetapi setelah saya googling, saya menemukan bahwa pembuatnya adalah Lion Israel Enthoven! Sebuah perusahaan kaya abad pertengahan, yang produknya adalah jembatan, jaringan rel kereta api, penutup lobang got. Oleh Pemerintah Hindia Belanda, L I Enthoven disewa untuk membuat lampu penerangan berbasis gas di seluruh wilayah kota Batavia dan Surabaya pada akhir 1890-an.

Bukan hanya itu, ternyata Enthoven ini juga tahun 1867 mengambil bagian dalam Pameran Produk Dunia di Paris dan mengandalkan sebuah produk mimbar yang terbuat dari baja. Mimbar itu sekarang disimpan dan dalam kepemilikan Rijksmuseum di Deventer, Belanda.

Luar biasa, tapi sayang tiang lampu (yang mungkin sudah langka di dunia) itu terkesan dibiarkan dan tak terawat. Itulah mengapa saya tak mengambil foto lampu secara utuh, sebagai langkah preventif agar tangan-tangan jahil tidak mengotak-atik benda bersejarah tinggi ini.

Saya pulang dengan segudang pemikiran di kepala saya, jika tiang lampu seperti itu (berbahan bakar gas) mampu menerangi sudut-sudut Kota Surabaya di masa itu, betapa cozzy-nya Surabaya di masa pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi ah, masa bodoh. Matahari sudah condong jauh ke arah barat, saatnya pulang!