Tuesday, March 3, 2015

Stasiun Mesigit, Tersembunyi Kumuh dari Hingar Bingar Kota

Siang hari cerah itu, entah kenapa saya mendadak teringat kenangan masa kecil; sebuah kenangan yang mungkin tak akan terulang kembali saat ini. Romantisme saya dan kereta api, yang sudah sejak kecil melekat di diri saya. Terpatri begitu kuat hingga sekarang - yang menjadikan saya betah berjam-jam browsing dan melihat masa jaya kereta api berpuluh tahun lalu. (Oh, thanks google! You make me remember it all!).

Saya mendadak tertarik dengan sebuah tempat dalam browsingan saya. Tempat yang sebetulnya enggak jauh-jauh amat dari rumah saya, sama-sama di Surabaya, tapi bahkan mungkin banyak yang belum tahu: Stasiun Mesigit.

Ya, Stasiun Mesigit. Siapa sangka Surabaya punya stasiun tersembunyi seperti Mesigit. Siapa sangka bahwa di tengah pemukiman kumuh daerah Dupak, Surabaya - yang mayoritas dihuni secara berhimpit-himpitan - terdapat stasiun yang tugasnya penting: untuk mengontrol dan mengatur jalur dari tiga persimpangan stasiun besar: Surabaya Pasarturi, Surabaya Kota, dan Sidotopo yang saling bertemu di sebuah lokasi yang dinamakan Segitiga Mesigit.


Stasiun Mesigit (MST) di era Kolonial Belanda, tampak dulunya adalah sebuah stasiun kelas II (Sumber foto tertulis - Universitas Leiden Belanda)

Stasiun Mesigit dulu juga melayani pemberhentian penumpang, lain kali akan saya tunjukkan bekas karcis kereta dengan tujuan Kalimas-Gresikkota. Stasiun yang berkode MST ini dulunya merupakan stasiun pulau dimana bangunan stasiun berada di tengah-tengah jalur rel. Ke arah selatan adalah jalur milik maskapai NIS (Nederlands Indische Spoorweg), sedangkan ke arah utara dan timur adalah jalur menuju Kalimas dan Surabaya Kota/Sidotopo milik maskapai Staatsspoorwegen (SS). Tidak jelas bagaimana pengaturan jalur dari Stasiun Mesigit ketika itu karena saya sejauh ini tidak menemukan data otentik bagaimana dua maskapai dapat disatukan dalam satu stasiun.

Berdasarkan data yang saya peroleh, ternyata emplasemen Stasiun Mesigit masa itu cukup lebar dengan 4 jalur. Kereta api yang melintas umumnya kereta api barang dengan tujuan akhir Pelabuhan Tanjung Perak via Kalimas berupa angkutan minyak, pupuk, dan logistik. Ini cukup dimaklumi karena ketika itu jalur menuju pelabuhan banyak sekali dan tiap maskapai kapal dan perusahaan pelabuhan punya rel sendiri.

Saya berkesempatan mengunjungi stasiun ini di pertengahan 2014 bersama sesama pecinta kereta api. Sebelumnya, saya memang sudah memperoleh gambaran bahwa keadaan di stasiun ini sudah mengenaskan dimana bangunan utamanya sudah menjadi rumah penduduk dan stasiun baru dibangun di sisi selatan bangunan asli Stasiun Mesigit.


Rel masuk Stasiun Mesigit dari arah Surabaya Pasarturi (Sumber foto: Istimewa)

Sebenernya untuk masuk kesana butuh kesabaran dan kehati-hatian ekstra mengingat lokasi stasiun ini ada di pemukiman kumuh dan kawasan 'merah' Kota Surabaya. Bahkan ketika kami memotret beberapa sisi stasiun ini, banyak mata memandang sinis dan tak bersahabat. Untunglah kami diijinkan masuk oleh PPKA Stasiun yang baik hati.

Kedatangan Kereta Api dari Surabaya Pasarturi ke Kalimas

Saat ini, Stasiun Mesigit hanya melayani persilangan KA dan mengontrol rute jalur masuk-keluar KA yang menuju ke Kalimas, Surabaya Pasarturi, dan Surabaya Kota/Sidotopo. Pos pengontrolan juga dibangun di Segitiga Mesigit yang ada sebelum viaduk Tugu Pahlawan dari arah Surabaya Kota (di samping Gedung Kantor Gubernur Jatim).

Sinyal keluar dan jalur 2 (jalur belok) Stasiun Mesigit. Kumuh memang, karena lokasi ini adalah lokasi 'merah' di Surabaya. Nantinya rel arah lurus ini akan menuju Stasiun Pasarturi dengan membelah Pusat Grosir Surabaya melalui terowongan

Papan nama stasiun ini pun cukup kecil dan hampir tak terlihat - yang membuat orang sukar untuk mencari. Tetapi, bangunan stasiun masih asli walaupun tak terpakai. Namun sayang foto di saya masih belum ketemu, nanti kalo udah saya edit post deh :))

Pesan saya sih kalo mau mengunjungi stasiun ini, jangan memakai atau menggunakan benda-benda yang mencolok, karena bahkan masinis pun jika berhenti di sini masih khawatir tentang keamanannya. Pastikan selalu safe visit dan safe hunting bagi yang mau mengabadikan momen di sini ya..

Tuesday, February 3, 2015

Penumpang yang tak Akan Pernah Kembali Lagi...

Langit mendung siang itu membawa saya pada sebuah rencana menarik. Saya yang pada dasarnya suka sejarah sama sekali tak menolak ketika salah satu teman saya mengajak untuk menelusuri jalur-jalur sisa kejayaan trem uap Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS).

Namun karena saya udah terlalu mainstream dengan peninggalan trem uap OJS maupun trem listrik yang ada di Surabaya (nanti kapan-kapan saya ulas di sini), saya lantas mengusulkan bagaimana kalo menelusuri lintas OJS yang lain - yang sama-sama start dari stasiun Wonokromo Kota (WOK).

Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS) sendiri adalah salah satu maskapai kereta api swasta di era Hindia Belanda yang memposisikan diri sebagai maskapai kereta ringan sejenis trem. OJS memulai bisnisnya di Surabaya, di tengah adanya dua raksasa maskapai besar ketika itu, Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Staats Spoorwegen (SS).

OJS memperoleh konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jaringan rel kereta api/trem dalam kota di akhir abad ke-19. Hingga akhirnya OJS berhasil menjalankan 5 lijn trem listrik dan 2 lijn trem uap di Kota Surabaya. Trayek paling populer tentu saja trayek trem uap antara Wonokromo Kota (WOK) ke Ujung (UJ) yang bahkan masih beroperasi di akhir tahun 1970.

Peta jaringan rel OJS (courtessy: penelusurrelmati.wordpress.com)
Selain itu, OJS juga membangun jaringan ke luar Kota Surabaya, yakni angkutan Wonokromo Kota ke Plosso via Krian. Tentunya masih sekelas trem uap dengan loko mallet type B khas OJS. Berbentuk kotak dan berukuran kecil sehingga mampu melewati rel untuk tekanan gandar rendah. Selain angkutan campuran tersebut juga dijalankan angkutan material pasir yang terutama dibawa dari daerah sekitar Kali Brantas di Lespadangan, Mojokerto maupun di sekitar Perning.

Perjalanan saya sampailah di Stasiun Perning. Bekas stasiun berkode PEN ini letaknya agak tersembunyi dari jalan raya yang membelah dari Ploso hingga ke Gunungsari, Surabaya. Saya sengaja memilih menjelajahi Stasiun Perning karena di sini dulunya sering digunakan sebagai bongkar muat material pasir dan ada gerbong yang sampai sekarang 'nyangkut' di bekas jalur menuju Perning.

Dulunya jalan ini rel menuju Perning :))

Dari jalan raya yang membelah 3 kabupaten dan menghubungkan ke Surabaya itu saya berbelok ke kiri, mengikuti arah plang yang telah dipasang PT KAI. Setelah berjalan lewat jalan tanah beberapa ratus meter, saya menemukan letak stasiunnya. Hmm, terasa asri dan tenang..

Bekas stasiunnya masih berdiri walaupun keropos di sana sini

Karena jalur ini ditutup setelah beberapa tahun OJS bangkrut dan menyerahkan segala asetnya kepada PT KAI, maka sisa-sisa jalur masih dapat ditemui dengan mudah. Saya juga menemukan bahwa stasiun ini telah dipasang plakat plat milik KAI


Saya menerawang jauh, membayangkan dulunya disini banyak penumpang dengan segala kesibukannya, dengan segala bawaannya, lalu lalang. Ada yang berlari-lari gara-gara hampir ketinggalan kereta, ada yang menduduki karung berisi barang bawaannya, ada yang mengantre membeli tiket, sungguh pesona memori yang indah...

Dulu, di sini ramai, banyak orang menunggu...
Hari beranjak akan hujan ketika saya terus bernostalgia dengan memori di stasiun trem yang dulunya ramai ini. Gerimis mulai turun ketika saya akan beranjak meninggalkan tempat ini. Rasanya berat, tapi saya harus pergi...

Dan ketika saya beranjak pergi, sebuah benda unik tampak di depan saya...

Gerbong TR di antara sawah
Voila! Apa ini? Tadinya saya kira cuman besi biasa, tapi jika diperhatikan, ternyata sebuah gerbong! Ya, gerbong yang tertinggal. Gerbong TR dua gandar yang khas sekali. Bekas gerbong pengangkut pasir, sehingga terbuktilah bahwa jalur ini dulu juga dilalui trem yang mengangkut pasir..

Sisa kejayaan trem OJS, merenung menyendiri di hari tuanya..
Saya bisa berucap masih beruntung gerbong ini tergeletak di sini. Masih beruntung tidak semua bagiannya dipreteli. Dan saya terkejut, ternyata di bagian bawah gerbong ini masih terlihat tulisan kapan terakhir diservis. Namun sayang sekali saya nggak bisa motret karena hari perlahan mulai turun hujan. Tulisannya berbunyi seperti ini:

PA BY TG 23-06-1973
PA YAD 23-06-1978

Artinya adalah, gerbong mengalami pemeliharaan terakhir pada 23 Juni 1973 di Balai Yasa Tegal. Ini berarti pula bahwa gerbong ini masih berjalan dengan normal di tahun 1973 sebelum jalurnya ditutup tahun 1978 karena dianggap tidak menguntungkan PJKA ketika itu.

Sebenarnya ada lagi satu peninggalan yang saya dapatkan di sekitar tempat ini. Fotonya ada di bawah, namun karena hari mulai hujan deras, maka saya akhiri dengan terpaksa penjelajahan ini. Semoga masih dapat menjelajah lebih jauh di kesempatan yang lain deh! :))

Bekas jembatan lengkap dengan rel-nya sekarang digunakan warga untuk keperluan sehari-hari



Saturday, April 12, 2014

Nasi Gandul Pati yang Tidak Akan Ditemukan di Tempat Lain...

Perut saya merasa lapar ketika saya harus melewati jalan panjang antara Semarang dan Surabaya. Yup, nyetir via Pantura bakal jadi pengalaman kuliner menyenangkan bagi sebagian orang. Bagi saya, beberapa tempat yang menyediakan makanan lezat sudah terbayang di sekitar Pantura, yaitu Lasem, Rembang, dan Pati.

Saya sengaja menjadwalkan untuk makan malam, menginap, dan sarapan di Pati. Sebuah balada bagi pengendara di Jalur Pantura, jalur yang dibangun oleh Daendels pada masa kolonial Belanda dengan nama De Grate Postweg, adalah beristirahat di SPBU sehingga SPBU di pantura selalu punya ciri khas sebagai tempat transit. Keunikan lain di Pantura ialah SPBU yang berlomba-lomba agar toiletnya bersih mengingat banyaknya orang yang akan berhenti di salah satu dari mereka.

Saya baru menginjak Rembang sekitar pukul 11 malam dan merasakan perut mulai keroncongan. Karena sudah menjadwalkan untuk makan malam di Pati, bergegaslah saya untuk sampai ke Pati. Ketika terlintas makan malam di Pati, maka hanya ada satu rekomendasi: nasi gandul!

Ada beberapa nasi gandul lezat di Kota Pati, yang jadi jujugan saya tiap ke kota kecil yang asri ini adalah Nasi Gandul Pak Bayan yang berlokasi di dekat pasar. Nasi gandul ini adalah semacam sup daging, dengan kuah yang manis, dan kita dapat menambah lauk berupa daging, perkedel, dan lain-lain sesuai selera. And then, kalo kurang pedas juga bisa ditambah sambal. Sebenarnya selain Pak Bayan ada juga Nasi Gandul Mak Ijah yang berlokasi di dekat Alun-Alun Pati. Tetapi entah saya yang salah waktu kesana (saya tiba di Pati sesaat setelah hujan mendera), atau memang lagi nggak jual, saya tak menemukan Nasi Gandul Mak Ijah yang secara geografis lebih dekat dari Jalur Pantura.

Nasi gandul Pak Bayan yang selalu ramai bahkan hingga larut malam

Yang unik, nasi gandul yang hanya akan kita temukan di Pati ini dimakan di atas pincuk (piring dari daun pisang), dengan sendok dari daun pisang pula. Tapi ada kok sendok benerannya untuk yang gak bisa makan pake sendok daun pisang, hehe...

Harganya? Yang jelas bervariasi tergantung lauk yang ditambahkan. Rata-rata nasi gandul di Pati berkisar antara 15-25 ribu rupiah. Dan kuliner macam ini tak akan kita temukan di tempat lain dengan suasana yang sama, suasana khas kota kecil di pesisir pantai utara Jawa, yang melantunkan nostalgia kejayaan masa lampau, dengan ditemani semilir angin laut yang pastinya membuat betah orang untuk berlama-lama di sini...

Saya benar-benar terpesona dan selalu terpesona dengan hawa pantura, jauh dari hingar bingar kota besar. Dan siapa sangka di kota kecil semacam ini justru kita lebih banyak menemukan pengalaman baru? Pengalaman kuliner dan traveling yang menyenangkan walaupun hanya sekedar transit :D

Friday, March 28, 2014

Kembali ke Balekambang dalam Balutan Lensa

Haaaai Balekambang, I'll back !

Itu janji saya ketika awal kali saya mengunjungi pantai yang saya anggap sebagai titik nol dari pantai-pantai di kawasan Malang Selatan beberapa waktu lalu. Entah kenapa kini saya justru terus-terusan ingin balik kesana. Selain langit ketika itu lagi bagus, sedang biru-birunya, juga ada waktu yang jedanya cukup panjang. Kuliah sore, berangkat pagi ke pantai pulang siang, cukuplah pikir saya.

Kesempatan itupun datang. Saya kali ini membawa 2 pasukan dengan 2 sepeda motor berangkat dari Kota Malang tempat saya kuliah menuju Balekambang. Tak sulit memang menuju kesana mengingat juga saya sudah dua kali ini mampir ke pantai itu.

Kilometer demi kilometer dilalui, tetapi yang lain di sini adalah berakhirnya masa panen tebu sehingga pemandangan yang saya lihat jauh lebih luas. Namun sayang sekali jalanan yang saya lewati ketika itu sedang dalam proses menjelang pengaspalan sehingga hanya dilapisi remukan batu yang kalau tak hati-hati bisa-bisa kepleset dan jatuh terguling. Hiiii!

Kami tiba di Balekambang tepat 95 menit setelah berkendara dari Kota Malang. Setelah lepas sepatu dan menyiapkan perlengkapan, kami langsung ngacir dan mulai menikmati irama ombak yang berdebur mengalun di tengah sepinya pantai...

Berasa private beach kaaaaaan? x)

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengeksplor kembali pantai ini yang bagi saya jauh lebih bagus, jauh lebih biru daripada pertama kali saya kesini. Pulau Ismoyo dengan Pura-nya yang masih berdiri tegak tetap menantang siapapun pengunjung pantai untuk melihat view Samudera Hindia dari atas pulau. Tetapi saya merasakan ada hal yang aneh...

Pantainya berombak tenang! Amat jarang terjadi Pantai Balekambang berombak tenang, hingga kita bisa bermain-main agak ke tengah seperti ini. Sementara teman-teman saya lainnya sibuk narsis, saya sempatkan mengabadikan beberapa sisi lain yang tersisa dari pantai indah nan eksotis ini..

Pasir yang khas inilah yang membuat saya ingin kembali ke tempat ini..
Pantai berombak tenang tak seperti biasanya, namun Pulau Ismoyo tetap gagah
Penjaga pantainya hilang ditelan bumi kah?

Kami melanjutkan eksplor pantai menuju Pulau Ismoyo yang terkenal itu. Tetapi siapa sangka balekambang begitu welcome dengan kami sehingga air lautnya begitu tenang? Siapa sangka Balekambang berasa seperti private beach, hanya karena kami wisatawan yang berada di sana? Siapa sangka pula gradasi air lautnya begitu indah sehingga membuat betah kami berlama-lama berada di sana?

Menuju Pulau Ismoyo, sebelum naik wajib candid session! :))
Gradasi air laut yang begitu memanjakan mata siapapun yang melihat.. Airnya tenang, betul-betul tenang..
Saya pilih nomor 2 #ehh
Pura di Pulau Ismoyo yang unik, karena ukir-ukirannya juga menunjukkan angka 2 #uhuk 
Pukul dua siang kami mulai beranjak meninggalkan Pulau Ismoyo dengan berjuta lanskap indah yang kami temukan di sana. Sebuah lanskap yang mungkin jarang terjadi. Sayang sekali kami tak bisa sampai sunset di Pantai Balekambang karena kuliah jam 4 sore telah menanti. Tetapi, sebelum meninggalkan pantai ini (dan berjanji bakal kesini lagi untuk ketiga kalinya), saya mencoba mengabadikan lebih banyak apa yang saya lihat dan mata kamera saya tangkap selama ada di surga yang tercecer ini...

Saking tenang dan hampir tak ada ombak besar, saya berani naruh tripod disini :))
Air beningnya terasa sejuk sekali, ga pengen kesini? :))
Motor balap saya juga pengen ngeksis dong...

Saturday, March 1, 2014

Berburu Peninggalan Belanda di Sidotopo

Hai, akhirnya saya nulis lagi hehe. Ada satu hal yang menggelitik telinga saya bahwa seorang teman berhasil menemukan beberapa footage langka jaman Belanda di sekitaran Sidotopo. Saya yang awalnya skeptis, yang menganggap bahwa memang lokasi stasiun dan dipo Sidotopo itu adalah awalnya memang bangunan eks Belanda menjadi tertantang untuk menemukan hal yang lain, yang saya rasa tidak semua orang ngeh kalo itu barang langka.

Berbekal kamera seadanya, sore itu berangkatlah saya ke stasiun terbesar se-Jawa Timur (atau bahkan se-Indonesia) itu. Kalo lihat gerbong bekas ditumpuk atau rel yang bertuliskan tahun 1800-an sih sudah sering. Hari itu saya benar-benar bertekad untuk menemukan sesuatu yang lain, yang bisa saya share juga hehe...

Tetapi ketika akan mencari parkir, saya tergerak dan tertarik dengan beberapa loko BB301 yang mangkrak (sepertinya menunggu untuk di-besituakan). Bukan apa-apa sih, kok sepertinya tertarik aja, entah intuisi saya yang tiba-tiba naik, atau apalah, yang jelas loko-loko BB301 yang dipajang di sana memang kebanyakan eks PLH alias kecelakaan hebat, yang menyebabkan loko-loko itu tidak dapat dipakai lagi.

Tersembunyi di rerumputan, lok BB30121 ini pernah mengalami kecelakaan hebat di Sengon beberapa tahun silam yang menyebabkan masinisnya meninggal dunia
Bagi sebagian orang mungkin lumayan ngeri, tapi saya penasaran. Bagi saya, lok-lok mati itu menatap kosong, seakan menunggu waktunya dipreteli untuk kemudian besinya dijual terpisah. Yah, itulah kebijakan perusahaan yang terkadang bagi orang awam seperti saya, hal ini dianggap salah. Atau mungkin malah sebaliknya...

Tak butuh waktu lama saya berburu peninggalan Belanda yang saya cari-cari. Setelah puas (sebenernya belom) melihat-lihat loko-loko mati yang sudah tak berdaya itu, mata saya tertuju pada sebuah lampu kuno di sebelah masjid dipo stasiun. Lampu yang tidak pada jamannya karena secara bentuk terlihat lampu seperti jaman pertengahan. Dan ketika saya mengamati sejengkal demi sejengkal lampu tersebut....

Dari tulisan yang ada di bawah tiang lampu, sudah sangat jelas ini lampu buatan eropa :D
Voila! Nama orang eropa, entah Belanda entah Jerman, yang jelas nama-namanya rumpun Jerman. Tetapi setelah saya googling, saya menemukan bahwa pembuatnya adalah Lion Israel Enthoven! Sebuah perusahaan kaya abad pertengahan, yang produknya adalah jembatan, jaringan rel kereta api, penutup lobang got. Oleh Pemerintah Hindia Belanda, L I Enthoven disewa untuk membuat lampu penerangan berbasis gas di seluruh wilayah kota Batavia dan Surabaya pada akhir 1890-an.

Bukan hanya itu, ternyata Enthoven ini juga tahun 1867 mengambil bagian dalam Pameran Produk Dunia di Paris dan mengandalkan sebuah produk mimbar yang terbuat dari baja. Mimbar itu sekarang disimpan dan dalam kepemilikan Rijksmuseum di Deventer, Belanda.

Luar biasa, tapi sayang tiang lampu (yang mungkin sudah langka di dunia) itu terkesan dibiarkan dan tak terawat. Itulah mengapa saya tak mengambil foto lampu secara utuh, sebagai langkah preventif agar tangan-tangan jahil tidak mengotak-atik benda bersejarah tinggi ini.

Saya pulang dengan segudang pemikiran di kepala saya, jika tiang lampu seperti itu (berbahan bakar gas) mampu menerangi sudut-sudut Kota Surabaya di masa itu, betapa cozzy-nya Surabaya di masa pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi ah, masa bodoh. Matahari sudah condong jauh ke arah barat, saatnya pulang!

Sunday, February 16, 2014

Long Day at Benowo: Stasiun Paling Barat di Kota Surabaya

Siang itu ditemani langit cerah, saya iseng untuk sowan teman lama di Benowo, sekaligus mampir ke stasiun terminus di barat Surabaya. Memang, saya awalnya penasaran dengan stasiun ini (walaupun sekarang sudah makin sering kesana).

Stasiun Benowo adalah stasiun dengan ketinggian 3 meter di atas permukaan laut, yang merupakan stasiun paling barat di Kota Surabaya. Stasiun ini berbatasan dengan Stasiun Cerme di barat dan Kandangan di sebelah timurnya. Di sini, saya menemukan tempat yang tenang, jauh dari hingar bingar Kota Surabaya di ujung sana, dingin, dan angin yang semilir membuat ngantuk siapapun yang berlama-lama di sini.

Stasiun Benowo menjelang sore hari
Saya sedikit berbincang dengan Kepala Stasiun Benowo yang ketika itu masih dijabat Pak Rizka Irawan (ketika tulisan ini ditulis, beliau sudah menjabat Kepala Stasiun Krian). Pembicaraan kami yang awalnya kaku dan formal menjadi ngalor-ngidul sejalan dengan waktu yang semakin sore. Mulai dari angkutan barang hingga suasana tenang di stasiun kecil tapi penting ini.

Sekedar informasi, keunikan Stasiun Benowo adalah selain jadi stasiun paling ujung di Kota Surabaya, stasiun ini adalah stasiun lengkung. Maksud stasiun lengkung di sini adalah stasiun ini emplasemennya berbentuk tikungan, bukan rel lurus seperti umumnya stasiun. Dan tentu saja kontur permukaan rel di sisi sebelah utara lebih tinggi dari sisi sebelah selatan, sehingga ketika kereta menikung akan terlihat seperti Motogp kalo saya boleh lebay, hehehe...

Persinyalan mekanik di Stasiun Benowo ketika itu...
Dalam beberapa jam saja saya sudah dapat merasakan keakraban personel stasiun kecil nan tenang ini. Ini pula yang membuat saya betah, bahkan sampai sekarang untuk sering berkunjung ke stasiun ini. Entah kenapa, sepertinya stasiun ini mampu membangkitkan memori masa lalu saya, sebuah alunan memoar tentang kereta api, yang saya dapatkan sejak kecil mampu menari-nari setiap saya membayangkan berada di sini. Ah, mungkin itu juga hanya ilusi. Yang jelas, perjalanan saya masih berlanjut dan tunggu saja updatenya di blog kecil ini. Salam satu rel! :D

Sisa peninggalan kereta api jaman lampau yang ketika itu masih digunakan
Stadion Gelora Bung Tomo nun jauh di sana, dipotret dari rangkaian KA kontainer yang berhenti di jalur 1
KA Harina melintas langsung di stasiun. Tampak beton proyek double track Surabaya-Jakarta 

Wednesday, February 5, 2014

Ketika Porong Banjir..

Saya sedang dalam perjalanan pulang dari Madiun menuju Surabaya ketika hujan deras yang mengguyur Sidoarjo dan sekitarnya selama hampir 18 jam membuat tergenangnya Porong. Saya yang awalnya menganggap itu hal biasa akhirnya malah jadi penasaran. Terlebih baca di sebuah grup facebook yang mengatakan bahwa jaringan rel Surabaya-Bangil terputus dan harus menggunakan loko hidrolis untuk melewati banjir.

What? Loko hidrolis? Ingatan saya langsung menuju beberapa loko hidrolis tua milik Dipo Sidotopo (karena yang terdekat dengan Porong tentu Surabaya) yang mulai berdinas sejak 1964, yang kini mulai merapuh akibat usia dan langkanya suku cadang. Mungkinkah loko-loko yang banyak berseliweran ketika jaman saya masih kecil 'hidup' kembali dan menjadi tulang punggung untuk menyeberangi banjir? Karena memang lokomotif jenis CC yang digunakan oleh PT KAI sekarang ini adalah loko elektrik yang tentu akan rusak jika dilewatkan banjir.

Bersama salah seorang teman, saya langsung meluncur ke Porong dari Surabaya. Benar saja, sejak masuk kawasan Kabupaten Sidoarjo, banyak sekali genangan air yang ada di jalan. Ini faktor drainase Sidoarjo yang buruk atau bagaimana? Bahkan jembatan-jembatan yang memotong jalan raya pun tampak sekali luberan airnya hingga hampir menyentuh bibir jalan.

Dan ketika saya sampai di Porong, apa yang saya lihat jauh melebihi yang saya bayangkan...

Dimanakah sisi paling ujung badan jalan?

Relnya hilang! Bukan hilang sih, tapi tak terlihat. Wajar saja loko diesel elektrik tak berani lewat sini. Saya juga menemui beberapa teman dari komunitas railfans, baik dari Komuter maupun IRPS yang juga memanfaatkan momen keluarnya loko 'legendaris' ini.

Perhatian saya tertuju pada pond alias kolam lumpur yang makin lama makin penuh, hampir tak ada peluang untuk berhenti. Saya melihat berkeliling, dan memori saya tertuju pada 10 tahun lalu dimana saya pernah melewati Jalan Raya Porong dengan pedesaan dan persawahan menghampar di kiri kanan jalan, dengan pabrik-pabrik kecil yang mengepulkan asapnya, dengan penjaja-penjaja sepatu industri rumahan yang berharap pembeli datang.

Berada di tepi tanggul lumpur menghadap jalan..

Tak butuh waktu lama langit pun mendadak kembali berangsur-angsur gelap. Saya mulai kuatir hujan turun lagi sehingga Porong bisa banjir lagi. Tetapi, mendadak sebuah jackpot lewat di hadapan saya. Para pemburu foto kereta api lawas berjejalan berebut spot foto..

Ini dia loko BB301 yang legendaris itu, dinas muai 1964!

Voila! Loko tua ini perlahan melintas genangan air yang merendam rel dengan pelan namun pasti. Loko ini dulu waktu saya kecil amat banyak berkeliaran di Jawa, tetapi entahlah, kini mungkin hanya beberapa yang masih bisa dihidupkan karena banyak yang rusak dan tak ada suku cadangnya yang dijual lagi. Ah, semoga beberapa ini masih bisa dilestarikan sehingga nasibnya tidak se-tragis loko uap yang kini telah menjadi besi tua yang dijual terpisah...

Tepat di belakang saya dulunya persawahan luas dengan pabrik-pabrik kecil di sekitarnya..
Saya masih berada di Porong hingga sore hari, berbincang dan bertukar informasi dengan teman-teman IRPS dan juga Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo/BPLS. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk berpindah tempat ke Stasiun Tanggulangin karena hujan deras dan khawatir banjir bakal tambah parah...

Menatap kosong menunggu banjir segera surut

Lokomotif tua ini ternyata sudah tak terawat pula :(

Proses peninggian rel sekitar 60 cm langsung dilakukan hari itu juga, tampak Kereta Luar Biasa/KLB kerikil bersiap menuju lokasi rel yang terendam
Sritanjung on the track at the middle of late-afternoon