Sunday, February 16, 2014

Long Day at Benowo: Stasiun Paling Barat di Kota Surabaya

Siang itu ditemani langit cerah, saya iseng untuk sowan teman lama di Benowo, sekaligus mampir ke stasiun terminus di barat Surabaya. Memang, saya awalnya penasaran dengan stasiun ini (walaupun sekarang sudah makin sering kesana).

Stasiun Benowo adalah stasiun dengan ketinggian 3 meter di atas permukaan laut, yang merupakan stasiun paling barat di Kota Surabaya. Stasiun ini berbatasan dengan Stasiun Cerme di barat dan Kandangan di sebelah timurnya. Di sini, saya menemukan tempat yang tenang, jauh dari hingar bingar Kota Surabaya di ujung sana, dingin, dan angin yang semilir membuat ngantuk siapapun yang berlama-lama di sini.

Stasiun Benowo menjelang sore hari
Saya sedikit berbincang dengan Kepala Stasiun Benowo yang ketika itu masih dijabat Pak Rizka Irawan (ketika tulisan ini ditulis, beliau sudah menjabat Kepala Stasiun Krian). Pembicaraan kami yang awalnya kaku dan formal menjadi ngalor-ngidul sejalan dengan waktu yang semakin sore. Mulai dari angkutan barang hingga suasana tenang di stasiun kecil tapi penting ini.

Sekedar informasi, keunikan Stasiun Benowo adalah selain jadi stasiun paling ujung di Kota Surabaya, stasiun ini adalah stasiun lengkung. Maksud stasiun lengkung di sini adalah stasiun ini emplasemennya berbentuk tikungan, bukan rel lurus seperti umumnya stasiun. Dan tentu saja kontur permukaan rel di sisi sebelah utara lebih tinggi dari sisi sebelah selatan, sehingga ketika kereta menikung akan terlihat seperti Motogp kalo saya boleh lebay, hehehe...

Persinyalan mekanik di Stasiun Benowo ketika itu...
Dalam beberapa jam saja saya sudah dapat merasakan keakraban personel stasiun kecil nan tenang ini. Ini pula yang membuat saya betah, bahkan sampai sekarang untuk sering berkunjung ke stasiun ini. Entah kenapa, sepertinya stasiun ini mampu membangkitkan memori masa lalu saya, sebuah alunan memoar tentang kereta api, yang saya dapatkan sejak kecil mampu menari-nari setiap saya membayangkan berada di sini. Ah, mungkin itu juga hanya ilusi. Yang jelas, perjalanan saya masih berlanjut dan tunggu saja updatenya di blog kecil ini. Salam satu rel! :D

Sisa peninggalan kereta api jaman lampau yang ketika itu masih digunakan
Stadion Gelora Bung Tomo nun jauh di sana, dipotret dari rangkaian KA kontainer yang berhenti di jalur 1
KA Harina melintas langsung di stasiun. Tampak beton proyek double track Surabaya-Jakarta 

Wednesday, February 5, 2014

Ketika Porong Banjir..

Saya sedang dalam perjalanan pulang dari Madiun menuju Surabaya ketika hujan deras yang mengguyur Sidoarjo dan sekitarnya selama hampir 18 jam membuat tergenangnya Porong. Saya yang awalnya menganggap itu hal biasa akhirnya malah jadi penasaran. Terlebih baca di sebuah grup facebook yang mengatakan bahwa jaringan rel Surabaya-Bangil terputus dan harus menggunakan loko hidrolis untuk melewati banjir.

What? Loko hidrolis? Ingatan saya langsung menuju beberapa loko hidrolis tua milik Dipo Sidotopo (karena yang terdekat dengan Porong tentu Surabaya) yang mulai berdinas sejak 1964, yang kini mulai merapuh akibat usia dan langkanya suku cadang. Mungkinkah loko-loko yang banyak berseliweran ketika jaman saya masih kecil 'hidup' kembali dan menjadi tulang punggung untuk menyeberangi banjir? Karena memang lokomotif jenis CC yang digunakan oleh PT KAI sekarang ini adalah loko elektrik yang tentu akan rusak jika dilewatkan banjir.

Bersama salah seorang teman, saya langsung meluncur ke Porong dari Surabaya. Benar saja, sejak masuk kawasan Kabupaten Sidoarjo, banyak sekali genangan air yang ada di jalan. Ini faktor drainase Sidoarjo yang buruk atau bagaimana? Bahkan jembatan-jembatan yang memotong jalan raya pun tampak sekali luberan airnya hingga hampir menyentuh bibir jalan.

Dan ketika saya sampai di Porong, apa yang saya lihat jauh melebihi yang saya bayangkan...

Dimanakah sisi paling ujung badan jalan?

Relnya hilang! Bukan hilang sih, tapi tak terlihat. Wajar saja loko diesel elektrik tak berani lewat sini. Saya juga menemui beberapa teman dari komunitas railfans, baik dari Komuter maupun IRPS yang juga memanfaatkan momen keluarnya loko 'legendaris' ini.

Perhatian saya tertuju pada pond alias kolam lumpur yang makin lama makin penuh, hampir tak ada peluang untuk berhenti. Saya melihat berkeliling, dan memori saya tertuju pada 10 tahun lalu dimana saya pernah melewati Jalan Raya Porong dengan pedesaan dan persawahan menghampar di kiri kanan jalan, dengan pabrik-pabrik kecil yang mengepulkan asapnya, dengan penjaja-penjaja sepatu industri rumahan yang berharap pembeli datang.

Berada di tepi tanggul lumpur menghadap jalan..

Tak butuh waktu lama langit pun mendadak kembali berangsur-angsur gelap. Saya mulai kuatir hujan turun lagi sehingga Porong bisa banjir lagi. Tetapi, mendadak sebuah jackpot lewat di hadapan saya. Para pemburu foto kereta api lawas berjejalan berebut spot foto..

Ini dia loko BB301 yang legendaris itu, dinas muai 1964!

Voila! Loko tua ini perlahan melintas genangan air yang merendam rel dengan pelan namun pasti. Loko ini dulu waktu saya kecil amat banyak berkeliaran di Jawa, tetapi entahlah, kini mungkin hanya beberapa yang masih bisa dihidupkan karena banyak yang rusak dan tak ada suku cadangnya yang dijual lagi. Ah, semoga beberapa ini masih bisa dilestarikan sehingga nasibnya tidak se-tragis loko uap yang kini telah menjadi besi tua yang dijual terpisah...

Tepat di belakang saya dulunya persawahan luas dengan pabrik-pabrik kecil di sekitarnya..
Saya masih berada di Porong hingga sore hari, berbincang dan bertukar informasi dengan teman-teman IRPS dan juga Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo/BPLS. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk berpindah tempat ke Stasiun Tanggulangin karena hujan deras dan khawatir banjir bakal tambah parah...

Menatap kosong menunggu banjir segera surut

Lokomotif tua ini ternyata sudah tak terawat pula :(

Proses peninggian rel sekitar 60 cm langsung dilakukan hari itu juga, tampak Kereta Luar Biasa/KLB kerikil bersiap menuju lokasi rel yang terendam
Sritanjung on the track at the middle of late-afternoon

Sunday, February 2, 2014

Warga Jepara, Saya Menyebutnya Pantai Pasir Halus!

Dalam perjalanan pulang dari Karimunjawa yang gagal, saya iseng untuk eksplor di Kabupaten Jepara. Itung-itung untuk menambal rasa dongkol lah gara-gara plan dadakan ke Karimunjawa harus berantakan hanya karena Karimunjawa lagi ombak besar dan pasca banjir yang melanda Jepara, Pati , Kudus, dan sekitarnya awal 2014 silam.

Perjalanan berangkat memang dibumbui sedikit banyak kisah pilu. Bayangkan, bila beberapa waktu lalu jika kita melewati jalur pantura Rembang-Pati dengan banyak keceriaan yang bisa kita temukan di kiri-kanan jalan, ketika itu hampir tak berbekas. Bulak-bulak padi dan tebu yang biasanya dengan mudah kita temukan, hamparan tambak garam maupun ikan milik petani tambak di Rembang-Juana yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kawasan Pantura, mendadak hilang. Yang tersisa adalah sebidang jalan aspal yang rata, yang di sekelilingnya dipenuhi tanaman busuk, baik padi, tebu, pisang atau semacamnya. Jalan aspal yang dahulunya di kiri kanan jalan terhampar pemandangan hijau, berubah menjadi air keruh sisa banjir besar awal tahun 2014.

Bukan berhenti di Pantura, ketika berbelok menuju wilayah Tayu di Jepara pun menjelang jembatan sungai yang bermuara di Gunung Muria itu, terhampar dengan jelas tanaman yang membusuk sisa banjir. Selain banjir juga cuaca buruk yang sewaktu-waktu mengancam dengan angin dan ombak besar di laut utara Pulau Jawa.

Itulah yang mendasari saya untuk eksplor di Jepara lebih jauh. Mungkin saja ada yang masih 'selamat' dari musibah besar itu. Setelah bertanya kesana kemari dan browsing di internet, akhirnya saya menemukan suatu pantai yang cukup 'terasing' di wilayah Jepara bagian utara.

Voila! Jalan makadam menuju ke pantai yang bahkan tanpa nama :))
Dari tukang becak dan tukang angkat pengusaha mebel di pelosok Jepara bagian Utara, saya bersama 2 teman saya yang memang saya ajak dari Surabaya akhirnya berjalan kaki menuju ke kawasan pantai tersebut. Pantai inilah satu dari sedikit pantai yang terselamatkan dari musibah banjir besar dan ombak besar yang terjadi beberapa waktu lalu, menurut warga Jepara. Dan untuk nama pantai ini sendiri pun banyak yang masih meragukan, apakah namanya Pantai Utara, Pantai Muria, atau Pantai Macan. Yang jelas saya bakal menyebut sebagai pantai-yang-tak-ada-namanya, hehehe...

Perjalanan ke pantai ini pun walaupun agak jauh (namanya juga jalan kaki keleeeus), kami disuguhi pemandangan hamparan sawah yang mulai mencoba move on  ditanami kembali, perkampungan pelosok Jepara, anak-anak kecil yang menguntit kami dengan riang, dan tentu saja senyum khas masyarakat Jawa Tengah. Benar-benar mengobati kekecewaan kami tentang Karimunjawa. Tapi, masa bodoh lah! We're just started the new exploration.

Sebagai informasi, pantai ini lokasinya ada di pucuk pulau Jawa di bagian utara. Tanah Jawa paling pucuk di Kabupaten Jepara. Maka dari itu tak heran kalau masih banyak warganya yang jadi pengusaha kayu, yang kebanyakan digunakan sebagai mebel.

Tanah berpasir putih! Tanda pantai sudah dekat..
Dari jalan yang juga berkontur perbukitan itu, kami menemukan tumbuhan nanas berjejer rapi. Tampaknya tempat ini telah dimanfaatkan penduduk sekitar untuk berkebun nanas. Dan apa yang terjadi? Tanahnya berpasir pantai! Voila, pasti sudah dekat pantai. Tetapi kami belum juga mendengar suara ombak ataupun 'bau' pantai.

Membelah tanaman nanas berjejer, jalan yang harus dilalui masuk di antara rimbunnya tanaman nanas. Note: Abaikan orang yang ada di foto!!!
Perjalanan selanjutnya adalah membelah kebun nanas dan rimbunnya dedaunan nanas plus tanaman yang lain yang ada di lokasi itu. Sebuah pekerjaan konyol hanya untuk pantai, tapi yah inilah traveling!

Setelah sekitar 10 menit bergelut dengan nanas dan masih ditemani anak-anak kecil yang berlarian di sekeliling saya yang juga dapat saya jadikan teman ngobrol sekaligus guide, akhirnya...

Pantaaaaaaaai ! Bonus cewe 2 orang, entah warga sekitar, entah apapun, bodo amat!
Pantaaaai ! Benar kata orang-orang yang telah kami tanya tadi. Pantai ini seperti yak kena imbas musibah waktu lalu. Pantainya juga masih putih, lautnya juga masih biru dan jernih.

Pasir lembut ini serasa mengajak kaki saya untuk berlarian di tengah pantai
Kontur pasirnya tipis tetapi tidak tajam. Mungkin hampir sama dengan kontur pasir di Pantai Balekambang Malang ataupun Pantai Goa Cina Malang, tetapi lebih halus ini. Kalo boleh usul nama sih, pantai ini diberi nama Pantai Pasir Halus aja biar lebih menjual dan tertancap di benak orang untuk merasakan pasirnya. Kalo dalam ilmu marketing, diferensiasinya dapet, taglinenya dapet pula, hehehe..

Anak-anak kecil sekitar pantai yang selalu mengikuti kami. Entahlah, semoga kalian sukses! :)
Menikmati sunset sore di pantai, sungguh suatu hal yang mengasyikkan
Di belakang saya adalah bekas bangunan, gak jelas juga bangunan apa, mungkin mau dibangun resort
Kata orang: nyantai kayak di pantai :D